Senin, 12 Maret 2018

Semakin Banyak Membuat Kesalahan = Semakin Baik

"KITA DILAHIRKAN UNTUK SUKSES, TETAPI DIKONDISIKAN UNTUK GAGAL"
(diambil dari buku Born To Be A Genius karya Adi W Gunawan)


"Ayo, Nak. Ayo, sini. Ayo berdiri . . . . . ya, pintar. Ayo jalan . . . . . satu . . . . . dua . . . . . oops (anak Anda jatuh). Nggak apa-apa. . . . . . Pintar. Ayo berdiri lagi. Ya . . . . . maju sini . . . . . wah, anak mama ini hebat!"

Ini adalah potongan dari kalimat yang biasa kita gunakan saat kita mengajar anak kita berjalan. Tidak pernah saya menemukan orangtua atau siapa saja yang akan memaki atau memarahi anaknya ketika anaknya jatuh saat sedang belajar berjalan. "Bodoh. Goblok. Begitu saja tidak bisa. Memang dasar anak blo'on. Sudah, nggak usah belajar jalan. Percuma saja ngajari kamu. Jatuh terus dan nggak bisa terus!" Tentu Anda akan mengatakan, "Mana ada orangtua yang seperti itu. Kalau ada, maka orangtua itu perlu dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena agak gila."

Mengapa anak kita dapat belajar dengan begitu cepat dan seakan-akan tidak perlu mengeluarkan daya upaya khusus untuk menyerap semua informasi? Proses belajar berjalan demikian alami dan mudah. Mengapa ini bisa terjadi? Ini semua karena anak belajar dalam suasana yang sangat kondusif. Suasana yang dipenuhi dengan ekspektasi atau pengharapan positif. Ada perasaan didukung dan dicintai tanpa syarat. Kesalahan tidak dipandang sebagai suatu hal yang memalukan tetapi dimengerti sebagai suatu bagian dari keseluruhan proses, dan mereka diterima apa adanya sesuai dengan kecepatan belajar mereka.

Ingatkah Anda sewaktu Anda pertama kali belajar naik sepeda? Berapa kali Anda jatuh-bangun untuk bisa menguasai keseimbangan? Saat Anda jatuh untuk pertama kalinya, apakah Anda langsung berhenti? Walaupun Anda jatuh berkali-kali dan mengalami luka di lutut atau kaki, mengapa Anda terus mencoba? Mungkin Anda pernah mengalami jatuh ke got karena Anda masih belum bisa mengendalikan jalannya sepeda, tapi mengapa masih Anda teruskan? Ini semua karena kebahagiaan yang Anda rasakan saat Anda belajar mengendarai sepeda. Jatuh-bangun tidaklah dipandang sebagai suatu kegagalan, tetapi lebih sebagai suatu harga yang harus dibayar untuk akhirnya bisa menikmati kemampuan bersepeda.

Skenario ini berubah total saat anak masuk ke sekolah. Bila sekarang ini kita masuk ke suatu ruangan kelas, maka yang kita lihat adalah wajah-wajah yang bosan dan takut. Murid merasa bosan karena pemikiran yang kreatif dan rasa haus akan ilmu pengetahuan, semangat dan kebahagiaan yang seharusnya ada dalam setiap proses belajar, kini telah hilang. Ditambah lagi dengan tuntutan agar semua murid selalu bisa memberikan jawaban yang benar. Bila mereka membuat kesalahan, maka mereka akan mendapat hukuman. Murid atau anak kita tidak dimotivasi oleh rasa senang untuk belajar, tetapi lebih didorong oleh rasa takut untuk berbuat salah.

Sering kali kita menemukan diri kita tidak berani menjawab suatu pertanyaan bukan karena kita tidak tahu jawabannya, tetapi lebih karena didorong oleh rasa takut kalau jawaban kita salah. Kita khawatir kalau sampai jawaban kita salah maka kita akan terlihat bodoh dan ditertawakan orang lain.

Semakin Banyak Membuat Kesalahan = Semakin Baik

"KITA DILAHIRKAN UNTUK SUKSES, TETAPI DIKONDISIKAN UNTUK GAGAL" (diambil dari buku Born To Be A Genius karya Adi W Gunawan) ...